Muallaf Pertama Berusia 10 Tahun

Beberapa kali pendebat dan apologet Islam memposting artikel muallafnya bocah-bocah Eropa yang masih ingusan ke berbagai media sosial, baik dalam bentuk berita, photo, maupun video pengakuan. Hal ini disengaja sebagai bahan propaganda untuk menunjukkan bahwa Islam juga sanggup menarik minat kaum muda. Sekalian membuktikan bahwa ajaran Islam itu memang berisi kebenaran universal yang ditunggu-tunggu umat manusia. Sayangnya, umat Islam tidak menyadari bahwa hal ini justru membuktikan bahwa Islam membuat pengikutnya tidak mampu berfikir cerdas.


Apa sih yang mampu dipahami nalar seorang anak kecil yang baru bertumbuh? Bukankah kenyataannya seorang anak itu jiwanya masih polos dan segala sesuatunya, kepada mereka, masih disuapi? Dalam kepolosannya, mereka percaya saja bahwa apapun yang disuapkan orang dewasa ke alam berfikir mereka, akan mereka terima sebagai sesuatu yang baik dan benar. Apalagi yang memberikan itu adalah orang tuanya atau kerabatnya.


Apa jadinya bila yang diterima seorang anak yang masih polos justru pengajaran atau doktrin salah dan sesat yang sebelumnya diterima dan dianut orang tuanya atau kerabatnya? Apakah ia memiliki kemampuan menalar semua pengajaran yang diberikan kepadanya dan apakah anak kecil itu punya keberanian mendebat orang tuanya atau kerabatnya? Kenyataannya kapasitas seorang anak kecil itu hanyalah peniru dan pengikut saja. Ia akan mengikuti dan meniru apapun yang dilakukan atau diajarkan orang tuanya kepadanya. Ia tidak akan memasang sikap waspada apalagi memasang sikap curiga. Kenyataanya, untuk sementara, seorang anak adalah subordinasi orang tuanya, sampai dirinya menemukan jati dirinya sendiri.


Kebanggaan terhadap muallafnya anak ingusan ditandai oleh catatan Ibnu Hisyam dalam kitab riwayat hidup Muhammad yang ditulisnya. Tercatat orang bernama Ali bin Abu Thalib adalah pria pertama yang masuk Islam di Mekkah. Ia adalah sepupu Muhammad sendiri. Ketika ia masuk Islam ia masih berusia sepuluh tahun. Ali bin Abu Thalib saat itu hidup di bawah pengasuhan Muhammad. Muhammadyang membesarkannya dan memberikan nafkah sampai ia dewasa. Tentulah tidak ada pilihan lain bagi Ali bin Abu Thalib selain 'mengikuti' kakak sepupunya itu, termasuk soal keimanan atau agama.


Ali bin Abu Thalib hidup di bawah asuhan kakak sepupunya ini dikarenakan terjadinya krisis(ekonomi) di Mekkah. Abu Thalib, orang tua Ali, tidak kuat menafkahi semua anak-anaknya yang berjumlah besar. Abu Thalib bersama semua anak-anaknya ketika itu hidup dalam keadaan yang sangat melarat. Muhammad mungkin melihat bahwa kelak ia punya peluang untuk mendapatkan pengikut seperti anak kecil bernama Ali bin Abu Thalib ini. Muhammad lalu mengajak pamannya yang lain yang bernama Al-Abbas untuk masing-masing turut serta menafkahi satu anak dari keluarga pamannya. Keterangan lengkapnya dikutipkan dari Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam jilid 1, bab 48, halaman 209 di bawah ini;


Ibnu Ishaq berkata bahwa Abdullah bin Abu Najih berkata kepadaku dari Mujahid bin Jabr Abu Al-Hajjaj yang berkata, "Di antara nikmat Allah pada Ali bin Abu Thalib, dan kebaikan yang disiapkan Allah untuknya, bahwa orang-orang Quraisy ditimpa krisis hebat sedang Abu Thalib mempunyai tanggungan yang banyak. Rasulullah saw berkata kepada pamannya, Al-Abbas (orang bani Hasyim yang paling kaya saat itu), "Hai Abbas, sesungguhnya saudaramu, Abu Thalib mempunyai banyak tanggungan, dan manusia sedang ditimpa krisis seperti yang engkau lihat. Mari kita pergi bersama kepadanya kemudian kita ringankan tanggungannya. Aku ambil satu orang anaknya dan engkau juga mengambil satu orang anaknya dari padanya. Jadi, kita minta dua orang anaknya." Al-Abbas berkata, "Ya!Boleh." Kemudian Rasulullah saw dan Al-Abbas pergi ke rumah Abu Thalib. Tiba di rumah Abu Thalib, keduanya berkata kepada Abu Thalib, "Kita berdua ingin meringankan tanggunganmu hingga krisi berakhir." Abu Thalib berkata kepada keduanya, "Jika kalian berdua menyisakan Aqil untukku, maka laksanakan apa yang kalian berdua inginkan."


Ibnu Ishaq berkata, "Ada yang mengatakan Ali dan Thalib."


Ibnu Ishaq berkata, "Rasulullah saw memungut Ali dan memboyongnya ke rumah beliau dan Al-Abbas memungut Ja'far dan memboyongnya ke rumahnya. Ali tetap tinggal di rumah Rasulullah saw hingga beliau diutus Allah Tabaraka Wa'taala sebagai nabinya. Kemudia Ali ra mengikuti beliau, beriman kepada beliau, dan membenarkan beliau. Sedang Ja'far tetap tinggal bersama Al-Abbas hingga ia masuk Islam dan mandiri."


Anak kecil berusia sepuluh tahun pasti tidak punya pertimbangan baik buruk, pantas atau tidak, dan benar atau salah ketika menjadi pengikut Muhammad. Apakah Muhammad sungguh seorang nabi atau rasul yang diutus Allah, juga tidak dapat dipahami Ali bin Abu Thalib dan saudaranya Ja'far. Meskipun bukan termasuk latah, namun mereka terima saja ikut saja percaya saja. Lain dari pada itu bukan urusan mereka.


Sama dengan itu, muallaf cilik yang konon melihat cahaya kebenaran ada di Islam ternyata hanyalah mengikuti ayah atau ibu mereka yang kemudian menikah kembali dengan para imigran muslim yang datang dari negara-negara berpenduduk mayoritas Islam. Anak-anak yang orang tuanya yang muallaf karena pernikahan, tentu ikut saja jejak ayah atau ibunya menjadi muallaf sesuai yang didesakkan ayah tiri barunya atau ibu tiri barunya. Ini lebih sesuatu yang serta merta alias otomatis. Ya, mereka tidak dipaksa dan juga bukan dipaksa. Mereka hanya mengikuti orang tuanya karena bagi mereka hanya orang tuanya. Tidak ada yang salah ketika anak-anak itu mengaku sukarela masuk Islam. Tapi bisakah mereka disuruh mempertanggungjawabkan masuk Islam-nya mereka? Ini yang jadi masalah. Artinya, penggunaan pengakuan anak kecil soal kemuallafan sukarela itu tidak elok dijadikan bahan propaganda yang membenar-benarkan Islam.

Komentar

Postingan Populer